Sejarah Desa Tumbang Malahoi

Riwayat Desa Tumbang Malahoi

Desa Tumbang Malahoi adalah salah satu desa yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Provinsi Kalimantan Tengah. Menurut cerita masyarakat setempat, penduduk Tumbang Malahoi berasal dari daerah Pekang Sambon (sekarang wilayah yang menjadi bagian dari Kalimantan Barat), tepatnya di daerah aliran sungai (DAS) Malahoi/Malawi.

Orang yang pertama mencari tempat hidup baru ke arah Kalimantan Tengah saat itu, – di Bukit Riwut di antara Sungai Samba dan Sungai Manuhing - adalah Ongko Langi. Di Bukit Riwut itu Ongko Langi beserta beberapa anggota keluarganya hidup beberapa saat. Di dalam keluarga mereka lalu terdapat seorang perempuan cantik yang diberi perhatian khusus menjadi bawi kuwu (perempuan yang dipingit). Nama perempuan itu adalah Nyai Mulung yang kemudian kawin dengan salah seorang pemuda dari Kayangan (Pantai Sangiang) bernama Umban Bulau. Bukti bahwa Nyai Mulung pernah menjadi bawi kuwu, adalah adanya ukiran di depan pintu kamar perempuan yang kini disimpan di betang yang bernama Betang Toyoi di Tumbang Malahoi.

Dari perkawinan Nyai Mulung dan Umban Bulau itulah lahir keturunan yang bernama Aluh Lakar (perempuan), Patan (laki-laki), Pantan (laki-laki), dan Tanggalung atau Timah (perempuan). Sebagian keturunan pasangan tersebut ada yang pindah, sebagian ada pula yang menetap di daerah Sungai Sampaga, Katingan, Rungan, serta Kahayan.

Salah satu keturunannnya adalah pasangan Bungai dan Burow. Mereka ini menetap di Sange. Nama tempat tinggal itu masih ada sampai sekarang, yaitu di bagian selatan Desa Tumbang Malahoi. Setelah beberapa kali pindah tempat hidup, salah satu keluarga dari keturunan Bungai dan Burow bernama Bira Dandan merasa perlu mencari petunjuk agar memperoleh tempat tinggal yang pantas dan membuat mereka tentram selama-lamanya. Cara yang ditempuh oleh Bira Dandan itu adalah dengan cara manajah antang (meminta petunjuk) dari Yang Maha Kuasa. Dengan manajah antang itu ditetapkan lokasi di pinggiran Sungai Baringei (nama sungai yang melintas di Desa Tumbang Malahoi sekarang). Nama "Malahoi" diambil dari nama daerah asal mereka, yaitu Malahoi di Kalimantan Barat sekarang. Selain tetap mengambil nama daerah, ikut pula diambil segumpal tanah dan air agar kelak mereka hidup seperti di daerah asalnya.


Betang Toyoi


Setelah mendapat lokasi bermukim yang dianggap menjanjikan kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan, salah satu dari keturunan asal Malahoi di daerah Kalimantan Barat yang bernama Toyoi, mengkoordinir anak menantunya untuk mengumpulkan bahan bangunan untuk mulai membangun rumah betang. Diperlukan waktu sekitar tiga tahun untuk mengumpulkan bahan bangunan. Pendirian betang dilakukan secara gotong royong oleh beberapa keluarga dari daerah Rungan, Manuhing, dan daerah-daerah lainnya.


Betang Toyoi - Riwayat Desa Tumbang Malahoi


Rumah Betang yang didirikan sekitar tahun 1869 tersebut dikenal sebagai "Betang Toyoi", dinamakan demikian sebagai penghormatan kepada Toyoi yang mendirikannya. Toyoi kemudian di-tiwahkan tahun 1948. Tiwah adalah prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang disebut sandung.


Menjadi Basis Perjuangan Sejak Era Perang Banjar


Ada kisah heroik yang seringkali disebut-sebut sebagai Kisah Perjuangan Bungai. Alkisah, Bungai yang merupakan tokoh berpengaruh di Desa Tumbang Malahoi pada masa itu diangkat oleh Raja Banjar yang bernama Sultan Mochammad Seman sebagai pemimpin perjuangan di wilayahnya untuk melawan pemerintah kolonial Belanda.

Bungai diberi gelar Tamanggung Singa Pati oleh Sultan Mochammad Seman. Pemberian gelar kepada Bungai itu ditandai dengan sebuah bendera berwarna kuning yang menjadi panji perang melawan Belanda di bawah kepemimpinan Bungai. Untuk mengenang peristiwa bersejarah itu, maka nama Sungai Beringei yang melintasi Desa Tumbang Malahoi, disebut "BatangDanum Riak Jamban Raja". Artinya, sungai yang pernah dilalui oleh orang bangsawan.

Setelah Bungai memperoleh kepercayaan untuk memimpin peperangan melawan Belanda dari Raja Banjar, maka kedua tokoh itu bersama-sama terlibat perang di daerah Pelaihari (Tabangian), Sungai Saluang (Banjar), dan Kayu Tangi (Martapura).

Perjuangan Bungai yang bergelar Tamanggung Singa Pati kemudian diteruskan oleh generasi Tumbang Malahoi berikutnya. Pasca-kemerdekaan, Masyarakat Desa Tumbang Malahoi juga aktif berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Awal Maret 1946 datang pasukan dari Tuban pulau Jawa ke Tewah yang dipimpin oleh Tuwai Umar, bersama dengan Hasan basri, Amat dan Abu Bakar. Mereka membawa berita bahwa Kapten Mulyono pimpinan pasukan 003/K3 MN-1001 dari Penjelidik Militer Chusus (PMC) telah datang ke Kalimantan dengan tujuan melawan NICA. Pada tanggal 16 Maret 1946 Rombongan ini berangkat ke Tewah menuju Batu Nyiwuh, melewati desa Tumbang Malahoi. Ketika itu seluruh tokoh masyarakat dari desa-desa yang ada di daerah sungai Rungan/Manuhing sepakat mendukung perjuangan mempertahankan Kemerdekaan RI dan mengusir penjajah Belanda dari Bumi Nusantara, termasuk Kalimantan.

Ide mencari jalan keluar untuk menghadapi penjajahan Belanda itu disampaikan oleh Diter Merang. Ia mengusulkan agar perundingan dilakukan di betang di Tumbang Malahoi. Hal tersebut diterima oleh kepala betang waktu itu, yaitu Panyat Bin Toyoi. Masyarakat Tumbang Malahoi pun memberi kesempatan seluas mungkin untuk berunding dan menyusun berbagai bentuk kegiatan.

Dari hasil perundingan tokoh masyarakat dan para pejuang Gerakan Revolusi Rakyat Indonesia (GRRI) yang dibentuk pada 21 Juli 1946, diputuskan untuk melakukan ritual manajah antang (meminta petunjuk dari Yang Maha Kuasa). Hasil manajah antang perjuangan GRRI, termasuk Rungan/Manuhing, adalah Indonesia pasti bebas dari belenggu penjajahan Belanda. Namun syaratnya, adalah harus manggantung sahur sebagai tanda memohon bantuan kepada Sang Pencipta dan para leluhur.

Sasaran perjuangan GRRI Rungan/Manuhing yang bermarkas di Desa Tumbang Malahoi, adalah markas pertahanan Belanda di Danau Mare, Tumbang Samba. Selain melakukan manajah antang, para tokoh masyarakat Rungan/Manuhing juga berperan dalam menyusun komposisi pasukan GRRI. Komposisi para pejuang GRRI itu dinamai Pasukan Ujan Panas yang terdiri dari 46 personil utama, termasuk Samudin Aman sebagai komandan kala itu.

Untuk mengenang kisah perjuangan tersebut, maka pada tanggal 28 Desember 1949, didirikanlah Tugu Kedaulatan. Tugu itu pertama kali dibangun dengan kayu ulin. Kemudian dibangun kembali dengan beton bertuliskan "Basis Perjuangan Gerilya Merebut/Mempertahankan Kemerdekaan RI Tahun 1945 s.d. 1949 di Tumbang Malahoi",


Tugu Kedaulatan - Riwayat Desa Tumbang Malahoi



sumber :
  • http://www.infoitah.com/2016/06/Riwayat.Desa.Tumbang.Malahoi.html
  • http://bpan.aman.or.id/2016/03/07/cerita-tentang-tumbang-malahoi-dua/
  • http://suarapakat.blogspot.co.id/2014/03/grri-gerakan-revolusi-rakyat-indonesia.html